BILINGUALISME DAN DIGLOSIA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
kehidupan masyarakat, manusia memiliki alat komunikasi dan interaksi yaitu
sebuah bahasa. Sebenarnya manusia juga dapat menggunakan alat komunikasi lain
selain bahasa. Namun, tampaknya bahasa merupakan alat komunikasi yang paling
baik, paling sempurna dibandingkan dengan alat komunikasi lain, seperti alat
komunikasi yang dipakai hewan. Dalam setiap komunikasi, manusia saling
menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan,
maupun emosi secara langsung agar terjadi interaksi yang baik antar masyarakat.
Masyarakat yang tertutup, yang tidak
tersentuh oleh masyarakat tutur lain, entah karena letaknya yang jauh terpencil
atau karena sengaja tidak mau berhubungan dengan masyarakat tutur lain, maka masyarakat
tutur ini akan tetap menjadi masyarakat tutur yang statis dan tetap menjadi
masyarakat yang monolingual. Sebaliknya, masyarakat tutur yang terbuka, artinya
yang mempunyai hubungan dengan masyrakat tutur lain tentu akan mengalami apa
yang disebut kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai
akibatnya. Peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya
kontak bahasa adalah apa yang di dalam sosiolingistik disebut bilingualisme dan
diglosia.
Indonesia
sebagai negara kepulauan memiliki ragam bahasa yang sangat banyak. Sehingga
menyebabkan banyaknya suku-suku bangsa di Indonesia yang memiliki bahasa yang
berbeda-beda, inilah yang memungkinkan masyarakat Indonesia memiliki dan
menggunakan lebih dari satu bahasa. Penggunaan lebih dari satu bahasa ini
disebut dengan bilingualisme dan pengguna bahasa lebih dari satu bahasa
disebut bilingual. Meskipun demikian, Indonesia hanya memiliki satu bahasa yang
kemudian dijadikan bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia.
Dalam makalah ini, akan dibicarakan
tentang bilingualisme dan diglosia, serta hubungan atau kaitan antara keduanya.
B.
Rumusan Masalah
Pada pembahasan
di atas dapat diidentifikasi rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
definisi dari bilingualisme?
2.
Bagaimana
definisi dari diglosia?
3.
Bagaimana
hubungan dari bilingualisme dan diglosia?
C.
Tujuan Masalah
Dari
rumusan masalah di atas dapat diambil tujuan masalah sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari bilingualisme.
2.
Untuk
mengetahui pengertian dari diglosia.
3.
Untuk
mengetahui hubungan dari bilingualisme dan diglosia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Bilingualisme
Istilah
bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara harfiah
sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu
berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara
sosiolinguistik, bilingual diartikan sebagai pengguanaan dua bahasa oleh
seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey
1992:12, Fishman 1997:73). Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya
seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau
bahasa pertamanya (disingkat B 1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang
menjadi bahasa keduanya (disingkat B 2). Orang yang dapat menggunakan kedua
bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga
dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut
bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasawanan).
Konsep
umum bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa oleh seseorang penutur
dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian telah menimbulkan
sejumlah masalah yang biasa dibahas kalau orang membicarakan bilingualisme.
Masalah-masalah itu adalah (Dittmer 1976:170):
1.
Sejauh
mana taraf kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik)
sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?
2.
Apa
yang dimaksud dengan bahasa dallam bilingualisme ini?
Apakah bahasa
dalam pengertian langue, atau sebuah kode, sehingga bisa termasuk sebuah dialek
atau sosiolek.
3.
Kapan
seorang bilingual mengguankan kedua bahasa itu secara bergantian? Kapan dia
harus menggunakan B1-nya, dan kapan pula harus menggunakan B2-nya? Kapan pula
dia dapat secara bebas untuk dapat menggunakan B1-nya atau B2-nya?
4.
Sejauh
mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi
B1-nya?
5.
Apakah
bilingualisme itu berlaku pada perseorangan (seperti disebut dalam konsep umum)
atau juga berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur?
Untuk
dapat menjawab pertanyaan pertama, “Sejauh mana penguasaan seseorang akan B2
(B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik karena merupakan bahasa ibu) sehingga
ia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?”
Bloomfield
dalam bukunya yang terkenal Language (1933:56) mengatakan bahwa
bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa
dengan sama baiknya. Jadi, seseorang dapat disebut bilingual apabila dapat
menggunakan B1 dan b2 dengan derajat yang sama baiknya. Robert Lado (1964:214)
mengatakan, bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang
deng sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknik mengacu pada
pengetahuan dua buah bahasa bagaimanapun tingkatnya. Jadi, penguasaan terhadap
kedua bahasa itu tidak perlu sama baiknya, kurang pun boleh. Menurut Haugen
(1961) tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual. Menurut Haugen
selanjutnya, seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua
bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja. Haugen juga mengatakan,
mempelajari bahasa kedua, apalagi bahasa asing, tidak dengan sendirinya akan
memberi pengaruh terhadap bahasa aslinya. Lagi pula seseorang yang mempelajari
bahasa asing, maka kemampuan bahasa asingnya atau B2-nya akan selalu berada
pada posisi di bawah penutur asli bahasa itu.
Dari
pembicaraan di atas dapat disimpulkan sebagai jawaban terhadap pertanyaan
pertama bahwa pengertian bilingualisme akhirnya merupakan satu rentengan
berjanjang mulai menguasai B1 (tentunya dengan baik karena bahasi ibu sendiri)
ditambah tahu sedikit akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang berjenjang
meningkat, sampai menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan B1. Kalau
bilingual sudah sampai tahap ini, maka berarti seorang yang bilingual itu akan
dapat menggunakan B1 dan B2 sama baiknya, untuk fungsi dan situasi apa saja dan
di mana saja.
Pertanyaan
kedua, “Apakah yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme. Apakah
bahasa itu sama dengan langue, atau bagaimana?” Bloomfield (1933)
mengatakan, bahwa menguasai dua buah bahasa, berarti menguasai dua buah sistem
kode. Kalau yang dimaksud oleh Bloomfield bahwa bahasa itu adalah kode, maka
berarti bahasa itu bukan langue, malainkan parole, yang berupa berbagai dialek
dan ragam. Menurut Mackey (1962:12), bilingualisme adalah praktik penggunaan
bahasa secara bergantian, dari bahasa satu ke bahasa yang lain, oleh seorang
penutur. Untuk pengguanan dua bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa itu
dengan tingkat yang sama. Jadi, jelas yang dimaksud dengan bahasa oleh Mackey
adalah sama dengan langue. Tetapi pakar lain, Weinrich (1968:12) memberi
pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa membedakaan tingkatan-tingkatan
yang ada di dalamnya. Bagi Weinrich menguasai dua bahasa berarti menguasai dua
sistem kode, dua dialek atau ragam dari bahasa yang sama. Pendapat yang sama
dikemukakan oleh Haugen (1968:10) yang memasukan penguasaan dua dialek dari
satu bahasa yang sama ke dalam bilingualisme. Demikian juga pendapat Rene Appel
(1976:176) yang mengatakan bahwa apa yang dimaksud dua bahasa dalam
bilingualisme adalah termasuk juga dua variasi bahasa.
Dari
pembicaraan di atas dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan bahasa di dalam
bilingualisme itu sangat luas, dari bahasadalam pengertian langue sampai berupa
dialek atau ragam dari sebuah bahasa. Kalau yang dimaksud dengan bahasa adalah
dialek juga, maka hampir semua anggota nasyarakat Indonesia adalah bilingual,
kecuali anggota masyarakat tutur yang jumlah anggotanya sedikit, letaknya
terpencil, dan di dalamnya hanya terdapat satu dialek dari bahasa itu.
Pertanyaan
ketiga, “Kapan seorang bilingual mengguankan kedua bahasa yang dikuasai
secara bergantian? Kapan harus menggunakan B1-nya, kapan pula harus menggunakan
B2-nya dan kapan pula dia dapat secara bebas dapat memilih untuk menggunakan
B1-nya atau B2-nya?”
Mengenai pertanyaan ketiga, kapan B1 harus
digunakan dan kapan B2 harus dipakai. Pertanyaan ini menyangkut masalah pokok
sosiolinguistik, “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan
dengan tujuan apa”. B1 pertama-tama dan terutama dapat digunakaan dengan para
anggota masyarakat tutur yang sama bahasanya dengan penutur. Penggunaan B1 dan
B2 tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan seituasi sosial
pembicaraan. Jadi, penggunaan B1 dan B2 tidaklah bebas. Masalah ketiga, kapan
seorang penutur bilingual dapat secara bebas menggunakan B1 atau B2 adalah agak
sukar dijawab. Dalam catatan sosiolinguistik hanya didapati adanya satu
masyarakat tutur bilingual yang dapat secara bebas menggunakan salah satu
bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu, yaitu di Monteral, Kanada.
Pertanyaan
keempat, “sejauhmana B1 seorang penutur bilingual dapat mempengaruhi B2-nya,
atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya.”
Pertanyaan
ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan kedua bahasa itu, dan kesempatan
untuk menggunakannya. Penguasaan B1 oleh seorang bilingual adalah lebih baik
daripada penguasaannya terhadap B2, sebab B1 adalah bahasa ibu, yang dipelajari
dan digunakan sejak kecil dalam keluarga, sedangkan B2 adalah bahasa yang baru
kemudian dipelajari, yakni setelah menguasai B1. Dalam keadaan penguasaan
terhadap B1 lebih baik dari pada B2, dan
juga kesempatan untuk mengguankannya lebih luas, maka ada kemungkinan B1 si
penutur akan mempengaruhi B2-nya. Seberapah jauh pengaruh B1 terhadap B2 adalah
tergantung pada tingkat penguasaannya terhadap B2. Kekurang fasihan seorang
penutur bilingual terhadap B2, sehingga B2-nya sering dipengaruhi oleh B1-nya
lazim terjadi pada para penutur yang sedang dipelajari B2 itu (Nababan,
1984:32).
Mungkinkah
B2 seorang penutur bilingula akan mempengaruhi B1-nya? kemungkinan itu akan ada
kalau si penutur biligual itu dalam jangka watu yang cukup lama tidak
menggunakan B1-nya, tetapi terus menerus mengguanakn B2-nya.
Pertanyaan
kelima, “apakah bilingualisme itu terjadi pada perseorangan atau pada
sekelompok penutur atau yang lazim disebut satu masyarakat tutur?”
Pertanyaan
ini menyangkut hakikat bahasa dalam kaitanya dengan menggunakannya dalam
masyarakat tutur biligual. Mackey (1968:554-555) berpendapat bahwa bilingualisme
bukan gajala bahasa, melainkan sifat pengguaan bahasa yang diguanakan penutur
biligual secara berganti-ganti. Bilingualisme juga bukan ciri kode, melainkan
ciri ekspresi atau pengungkapan seorang penutur. Begitupun bukan bagian dari
langue, melainkan bagian dari parole. Mackey juga mengungkapkan kalau bahasa
itu memiliki kelompok atau milik bersama suatu masyarakat tutur, maka
bilingualisme adalah milik individu-individu para penutur, sebab pengguaan
bahasa secara bergantian oleh seorang penutur bilingual mengharuskan adanya dua
masyarakat tutur yang berbeda. Menurut Oksaar (1972:478), bahwa bilingualisme
bukan hanya milik individu, tetapi juga milik kelompok. Sebab bahasa itu
pengguaannya tidak terbatas antara individu dan individu saja, melainkan juga
digunakan sebagai alat komunikasi antar kelompok.
Chaer (1994) mengatakan, bahasa itu
bukan sekedar alat komunikasi saja, melainkan sebagai alat untuk menunjukan
identitas kelompok. Konsep bahwa bahasa merupakan identitas kelompok memeberi
peluang untuk menyatakan adanya sebuah masyarakat tutur yang bilingual, yang
menggunakan dua buah bahasa sebagai alat komunikasinya. Masyarakat tutur yang
demikian tidak hanya terbatas pada sekelompok orang, malah bisa juga meluas
meliputi wilayah yang sangat luas, mungkin juga meliputi satu negara. Seperti
dikatakan Wolf (1974:5) salah satu ciri bilingualisme adalah digunakannya dua
buah bahasa atau lebih oleh seorang atau sekelompok orang dengan tidak adanya
peraan tertentu dari kedua bahas itu. Artinya, kedua bahasa itu dapat
diguanakan kapada siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi bagaimana saja.
Pemilihan bahasa mana yang harus diguanakan tergantung pada kemampuan si
pembicara dan lawan bicaranya.
Keadan di dalam masyarakat di mana
adanya pembedaan pengguaan bahasa berdasarkan fungsi atau peranaanya
masing-masing menurut konteks sosialnya, didalam sosiolinguistik dikenal dengan
sebutan diglosia.
B.
Diglosia
Kata
diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang perna digunakan
oleh Marcais, seorang linguis Prancis. Tetapi istilah itu menjadi terkenal
dalam studi linguistik setelah digunakan oleh seorang sarjana dari Stanford
University, yaitu C.A.Ferguson tahun 1958 dalam suatu simposiun tenteng
“Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan oleh American
Anthropological Association di Washignton DC. Kemudian Ferguson
menjadikan lebih terkenal lagi dengan sebuah artikelnya yang berjudul
“Diglosia” yang dimuat dalam majalah Word tahun 1959. Artikel Ferguson
itu dipandang sebagai referensi klasik mengenai diglosia.
Ferguson
menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat
dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan
masing-masing mempunyai peranan tertentu. Definisi diglosia menurut Ferguson
adalah:
1.
Diglosia
adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain terdapat
sejumlah dialek-dialek utama dari satu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
2.
Dialek-dialek
utama itu di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar, atau sebuah standar
regional.
3.
Ragam
lain itu memiliki ciri:
· Sudah terkodifikasi
· Gramatikalnya lebih kompleks
· Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan
dihormati
· Dipelajari melalui pendidikan formal
· Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
· Tidak digunaakan dalam percakapan sehari-hari
Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetengahkan
sembilan topik, yaitu:
1.
Fungsi,
merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalm
masyarakan diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi pertama
disebut dialek tinggi (T), dan yang kedua disebut dialek rendah (R).
2.
Prestise,
dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menganggap dialek T lebih
bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis.
Sedangkan dialek R dianggap inferior, malah ada yang menolak keberadaannya.
3.
Warisan
Kesusastraan, pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai
contoh terdapat kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh
masyarakat bahasa tersebut.
4.
Pemerolehan,
ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan
ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
5.
Standardisasi,
karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan
kalau standardisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kondifikasi
formal.
6.
Stabilitas,
kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama di mana
ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat
itu.
7.
Gramatika,
Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalm diglosia merupakan
bentuk-bentuk dari bahasa yang sama. Namun, di dalam gramatika ternyata
terdapat perbedaan.
8.
Leksikon,
sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada
kosakata pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya,
ada kosakata ragam R yang tidak ada pasangannya pada ragam T.
9.
Fonologi,
dalam bidang bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan ragam R.
Perbedaan tersebut bisa dekat bisa juga
jauh.
Pada
bagian akhir dari artikel Ferguson menyatakan bahwa suatu masyarakat digllosis
bisa bertahan dalam waktu yang cukup lama meskipun terdapat “tekanan-tekanan”
yang dapat melunturkannya. Tekanan itu antara lain, (1) meningkatkan kemampuan
keaksaraan dan meluasnya komunikasi verbal pada satu negara; (2) meningkatnya
penggunaan bahasa tulis; (3) perkembangan nasionalisme dengan keinginan adanya
sebuah bahasa nasional sebagai lambang kenasionalan suatu bangsa.
Juga
dipersoalkan, rgam mana yang akan dipilih menjadi bahasa nasional, ragamT atau
ragam R. Dalam hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, ragam R dapat menjadi
bahasa nasional karena ragam itulah yang dipakai dalam masyarakat. Kedua, ragam
T yang akan menjadi bahasa nasional atau bahasa standar, asal saja (1) ragam T
itu sudah menjadi bahasa standar pada sebagian masyarakat, (2) apabila
masyarakat diglosis itu menyatu dengan masyarakat lain.
C.
Kaitan
Bilingualisme dan Diglosia
Diglosia
diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa dan
bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam
masyarakat, maka Fishman (1977) menggambarkan hubungan diglosia dan
bilingualisme itu menjadi empat jenis, (1) bilingualisme dan diglosia, (2)
bilingualisme tanpa diglosia, (3) diglosia tanpa bilingualisme, (4) tidak
bilingualisme dan tidak diglosia.
Dari
keempat pola masyarakat kebahasaan di atas yang paling stabil hanya dua yaitu,
(1) diglosia dan bilingualisme, (2) diglosia tanpa bilingualisme. Keduanya
berkarakter diglosia, sehingga perbedaanya adalah terletak pada
bilingualismenya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bilingualisme
atau kedwibahasaan yakni berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode
bahasa. Secara umum dalam sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai
penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain
secara bergantian. Diglosia berasal dari bahasa Prancis, diglossie. Diglosia
digunakan untuk menyatakan suatu masyarakat yang di sana terdapat dua variasi
dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranaan
tertentu.
B.
Saran
Dengan
membaca makalah ini penulis berharap agar para pembaca dapat mengambil hikmah
sehingga bisa bermanfaat. Dan tentunya, penulis sadari bahwa dalam makalah ini
terdapat banyak kelemahan. Dengan demikian, suatu kegembiraan kiranya jika
terdapat banyak kritik dan saran dari pembaca sebagai bahan pertimbangan untuk
perjalanan ke depan.
DAFTAR RUJUKAN
Chaer, Abdul. 2010. Sosiolinguistik:
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.