ESAI
PENDIDIKAN KARAKTER ALA
PESANTREN DALAM NEGERI 5 MENARA
Karakter merupakan aspek penting dari
kualitas sumber daya manusia (SDM) karena kualitas karakter bangsa menentukan
kemajuan suatu bangsa. Karakter adalah titian ilmu pengetahuan (knowledge) dan
keterampilan (skill). Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan
menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karakter berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak
atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak
(1995:445).
Pendidikan karakter memang penting
dalam perkembangan manusia Indonesia saat ini. Terlebih dalam era global
yang setiap negara berusaha memberi karakter setiap warga negaranya yang
menjadi identitas penting dalam pergaulan global. Karakter adalah cara berpikir
dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan
bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan
siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Kehadiran novel Negeri 5 Menara karya
A. Fuadi ini sangat tepat seiring dikembangkannya
pendidikan karakter di Indonesia. Novel yang
berlatar belakang pendidikan pesantren ini menceritakan pengalaman penulisnya
selama belajar di sebuah pondok pesantren (Pondok Madani) di Jawa Timur.
Novel sebagai salah satu bentuk karya
sastra pada dasarnya merupakan hasil imajinasi dan kreativitas pengarang yang
bersumber dari pengalaman, baik pengalaman lahir maupun pengalaman batin. Pengalaman ini
disusun secara kreatif, imajinatif, sistematis, dan estetis dengan menggunakan
bahasa sebagai medianya sehingga mampu menyajikan jalinan cerita yang indah
serta mampu memberikan wawasan yang merupakan hasil renungan tentang beraneka
ragam pengalaman kehidupannya. Dalam bahasa yang lebih umum,
pengalaman itu mungkin berdasarkan pengalaman objektif semata-mata, atau
mungkin juga terpaksa harus direkayasa dan diperkaya dengan pengalaman imajinatif
dan pengalaman intelektual. Melalui karyanya, seorang pengarang berusaha
merefleksikan gejolak dalam jiwanya, baik berupa luapan emosi tentang
keputusasaan, kegelisahan, protes diri, sebuah cita-cita, ataupun merekam suatu
peristiwa.
Novel Negeri 5
Menara ini menceritakan Alif Fikri, seorang pemuda Minangkabau lulusan Madrasah
Tsanawiyah (MTs) yang dengan setengah hati merantau ke Jawa untuk menimba ilmu
di salah satu Pondok Pesantren terkenal di Ponorogo, Jawa Timur. Alif, seorang
pemuda yang memiliki cita-cita suatu saat nanti bisa seperti Habibie,
sesungguhnya Alif ingin melanjutkan sekolah ke SMA. Sementara
ibunya menginginkan Alif melanjutkan ke jalur pendidikan agama Islam, Madrasah
Aliyah (MA) dan menjadi seorang ahli agama suatu saat nanti, seperti Buya Hamka. Kondisi tersebut membuat Alif dilanda kekalutan, antara berbakti pada orang
tua dengan mengikuti keinginan ibunya, yaitu melanjutkan bersekolah ke Madrasah
Aliyah ataukah melanjutkan mimpinya untuk sekolah di SMA. Hingga akhirnya, dengan referensi dari salah seorang kerabat, Alif
dengan berat hati memenuhi permintaan orangtuanya untuk menempuh jalur
pendidikan agama Islam tetapi dengan suatu syarat. Alif tidak mau masuk
Madrasah Aliyah (MA) di Minang; tetapi ia memilih mendalami ilmu agama ke Pondok Madani
(PM), sebuah pesantren di Jawa Timur.
Maka berangkatlah Alif yang ketika
itu masih berusia sangat muda, merantau ke Jawa. Dan perjalanan hidup Alif
sebagai salah satu siswa Pondok Madani pun dimulai. Peraturan pondok yang sangat ketat, jadwal kegiatan yang padat, kewajiban memakai
bahasa Inggris dan Arab dalam setiap kegiatan komunikasi, serta hukuman yang
siap menanti sekecil apapun kesalahan yang diperbuat, membuat Alif tidak tahan
pada saat awal-awal bersekolah di Pondok
Madani. Gelombang emosi Alif yang naik turun menghiasi
hari-harinya pada saat menimba ilmu di Pondok
Madani. Ragu dan menyesal sempat terbersit di benak
Alif, apalagi ketika Alif menerima surat dari sahabat dekat ketika sekolah
dulu, yaitu Randai, yang kini seolah sedang berjaya di sebuah SMA Favorit di
Bukit Tinggi, sebuah SMA impian Alif.
Seiring berjalannya waktu, lambat
laun Alif dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan PM. Alif juga menemukan
sahabat-sahabat senasib yang kemudian dinamai Sahibul Manara, sahabat yang sering
berkumpul di bawah menara masjid Pondok Madani sambil menunggu adzan Maghrib.
Mereka adalah Said dari Surabaya, Raja dari Medan, Dulmajid dari Madura, Atang dari Bandung,
dan Baso dari Gowa. Mereka saling menasehati, saling berbagi mimpi, dan saling membantu
satu sama lain. Kehidupan PM yang ketat dalam menerapkan disiplin membuat
mereka harus saling mendukung agar betah menyelesaikan 4 tahun sekolah. Banyak
hal yang Alif dan kawan-kawannya dapatkan dari PM, tidak hanya pelajaran biasa,
tetapi juga pelajaran tentang kehidupan, yang ia bawa sebagai bekal di
kehidupan di masa depan. Tekanan hidup tidak membuat
Alif dan para santri lainnya menjadi patah dan mengkerut, tetapi justru membuat
mereka semakin kuat mental dan tahan banting. Hasilnya, mereka menjadi
pribadi-pribadi muda yang tegar, optimistis, percaya diri, juga fasih berbahasa
Arab dan Inggris.
Sebagai karya
kreatif yang bersifat imajinatif, karya sastra tidak hanya diharapkan dapat
memberi hiburan, tetapi juga diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembaca
melalui nilai-nilai yang diusungnya. Karya sastra yang
baik diharapkan memunculkan nilai-nilai positif tentang pengalaman kehidupan
sehingga dapat menggugah perasaan, membuka pikiran, dan hati nurani pembaca.
Novel Negeri 5 Menara ini menyuguhkan
suatu cerita yang membuka pandangan pembaca tentang seluk-beluk pendidikan
pesantren modern yang selama ini hanya menjadi cerita dari mulut ke mulut.
Pahit dan getir, riang dan gamang kaum santri dengan humor khas pesantren diceritakan dengan
pengisahan yang menakjubkan. Pendidikan pesantren modern yang digambarkan dalam
novel ini sungguh tidak main-main. Pembentukan karakter benar-benar ditanamkan
secara kuat, nyata, dan konsisten sehingga mampu melahirkan generasi yang
benar-benar tangguh.
Ikhlas merupakan wujud kepasrahan dan
kecintaan manusia kepada Tuhannya. Dalam menjalani hidup tak ada kepentingan
apa-apa selain ibadah. Semua untuk kebaikan semesta, seperti yang diamanatkan
Tuhan. Doktrin ini ternyata benar-benar dapat merasuk ke dalam sum-sum para santri, sehingga semangat untuk beribadah
dalam mencari ilmu tak pernah luntur, bahkan menggebu-gebu.
Sementara itu, untuk karakter
kedisiplinan, merupakan hal yang tak dapat ditawar di PM. Aturan-aturan yang wajib
dipatuhi para santri diperkenalkan sejak hari pertama mereka masuk PM. Termasuk
aturan mengenai kewajiban pemakaian bahasa Arab dan bahasa Inggris untuk segala
komunikasi 24 jam di PM. Hukuman tidak pandang bulu. Siapa yang melanggar aturan
harus dihukum, meskipun santri baru. Sebagaimana terlihat dalam kutipan
berikut.
” …, ingat juga bahwa aturan di sini punya konsekuensi
hukum yang berlaku tanpa pandang bulu. Kalau tidak bisa mengikuti aturan,
mungkin kalian tidak cocok di sini. Malam ini akan dibacakan qanun, aturan
komando. Simak baik-baik, tidak ada yang tertulis, karena itu harus kalian
tulis dalam ingatan. Setelah mendengar qanun, setiap orang tidak punya alasan
tidak tahu bahwa ini aturan” (hal. 51)
Kedisiplinan memang merupakan satu
pilar karakter yang harus dimiliki seseorang untuk menjadi seorang pribadi yang
matang dan sukses. Kesuksesan akan sulit diraih tanpa kedisiplinan yang tinggi.
Inilah yang membuat PM begitu ketat menerapkan disiplin dalam mendidik para
santrinya. Hukuman yang keras akan membuat santri jera dan lebih berhati-hati.
Hukuman yang tidak pandang bulu juga mengajarkan para santri PM tentang
keadilan.
Demikian pula untuk kemandirian dan
tanggung jawab. Pendidikan dengan model asrama (pondok) yang digambarkan dalam
novel Negeri 5 Menara ini akan melatih kemandirian dan tanggung jawab. Para
santri harus mampu mengurus dirinya sendiri juga barang-barang miliknya.
Seperti mencuci baju, membersihkan kamar, dan sebagainya. Tugas sebagai jasus (mata-mata), petugas bulis
lail (ronda
malam) yang
diatur secara bergiliran juga menuntut dan melatih karakter tanggung jawab bagi
para santri.
Pengaturan penghuni kamar yang selalu
dirolling setiap tiga bulan sekali juga mampu menumbuhkan karakter kasih
sayang, cinta damai, dan kerjasama. Di samping itu, santri PM yang berasal dari
berbagai suku, daerah, bahkan negara juga diatur sedemikian rupa agar dapat
membaur satu sama lain. Pengaturan semacam ini tentu akan memperkuat rasa
persatuan dan toleransi antar sesama santri.
Selain Ilmu agama
yang dipelajari di PM, siswa juga diarahkan minat dan bakatnya pada berbagai
hal, seperti musik, seni lukis, fotografi, jurnalistik, olahraga, pencak silat,
kelompok baca dan sebagainya. Pentas seni bukan menjadi
barang aneh bagi siswa-siswa Pondok Madani. Fotografi dan jurnalistik berpadu
apik membangun redaksi Majalah Syams. Di sinilah karakter kreatif para santri
dibentuk dan dikembangkan.
Tugas-tugas lain, seperti berpidato
di depan umum dengan menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Arab secara
bergantian mampu menumbuhkan rasa percaya diri bagi para santri di PM. Demikian
pula tugas menjadi imam sholat dan ketua kegiatan, juga mampu membentuk dan menumbuhkan jiwa
kepemimpinan. Para santri dicetak menjadi pribadi yang harus siap memimpin dan
dipimpin.
Dari berbagai
karakter yang telah diuraikan di atas, karakter kerja keras dan pantang
menyerahlah yang sesungguhnya menjadi benang merah keseluruhan cerita dalam
novel Negeri 5 Menara ini. Aroma kerja keras dan
pantang menyerah bahkan telah dikenalkan dalam pembuka novel ini, yaitu kutipan
kata mutiara Imam Syafii sebagai berikut.
”Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung
halaman. Tinggalkan negeri mu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau
akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya
hidup terasa setelah lelah berjuang. Aku melihat air menjadi rusak karena diam
tertahan. Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang. Singa
jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa. Anak panah jika tak
tinggalkan busur tak akan kena sasaran…”
Di PM karakter kerja keras dan pantang
menyerah juga didoktrinkan kepada para santri sejak awal masuk. Yaitu melalui
mantra sakti berbahasa Arab, “man jadda wajada”, Siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil. Cara menanamkannya
dapat dikatakan cukup unik, yaitu dengan cara diteriakkan secara lantang dan
berulang-ulang oleh para santri di masing-masing kelas sehingga para santri
merasa tersengat ribuan tawon dan mantra tersebut benar-benar terekam dalam
ingatan dan terpatri dalam hati. (hal. 40-41).
Pemimpin PM juga menegaskan bahwa
belajar di PM tidak akan santai-santai. Semua harus mau bekerja keras agar
dapat berhasil. Untuk bisa segera lancar berbahasa Inggris dan Arab, para
santri harus mau rajin belajar, rajin membuka kamus. Toleransi untuk
menggunakan bahasa Indonesia hanya pada tiga bulan pertama masuk. Setelah itu,
para santri yang masih menggunakan bahasa Indonesia berarti melanggar aturan
dan akan mendapatkan hukuman. Kemampuan berbahasa Inggris dan Arab tidak
mungkin akan terwujud tanpa kerja keras para santri sendiri.
Sebagaimana dikisahkan
dalam novel ini, kerja keras dan pantang menyerah benar-benar menjadi ruh
pendidikan, sehingga mampu membentuk pribadi-pribadi yang tangguh dan tidak
mudah mengeluh. Berkat kerja keras dan pantang
menyerah, Alif dan kawan-kawannya pun akhirnya mampu meraih mimpinya
masing-masing yang pada awalnya dirasa sangat mustahil. Mereka berhasil
mengunjungi menara-menara impiannya. Keajaiban-keajaiban dapat diciptakan
dengan usaha-usaha yang tak kunjung menyerah.
Karakter kerja keras dan pantang
menyerah tentu menjadi kunci kesuksesan yang telah diyakini banyak orang.
Namun, dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat kita saat ini, karakter
tampaknya semakin terkikis seiring perkembangan zaman. Masyarakat kita
cenderung lebih menyukai segala yang bersifat instan. Mereka menginginkan hidup
enak, hasil yang banyak, dengan usaha yang sedikit. Bila mendapat kesulitan
sedikit, sudah mengeluh sebelum akhirnya menyerah. Karakter kerja keras dan
pantang menyerah sepertinya tidak ada lagi dalam diri mereka. Menipisnya
karakter kerja keras ini pula yang memicu munculnya budaya jalan pintas dalam
berbagai segi kehidupan. Budaya jalan pintas inilah yang akhirnya memunculkan
budaya baru, seperti kecurangan dalam ujian nasional, juga kasus-kasus korupsi.
Melalui novel ini, pengarang berhasil
menyuguhkan cara pandang baru terhadap pondok pesantren yang selama ini
dianggap sebagai tempat ’buangan’ anak-anak yang bermasalah. Image pondok
sebagai tempat pendidikan kuno, berhasil pula ditepiskan dengan menyuguhkan
gambaran pesantren sebagai tempat pendidikan yang mengarahkan santrinya untuk
menjadi insan unggul baik dari sisi pendidikan agama maupun pendidikan
non-agama. Model pendidikan karakter yang disajikan dalam novel ini juga
memberikan referensi dan menawarkan alternatif kepada masyarakat, khususnya
dunia pendidikan, yang mungkin dapat diadopsi untuk diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan yang lain.
Membaca novel Negeri 5 Menara ini,
pembaca seakan-akan mendapat motivasi tentang pentingnya kerja keras. Bahwa
hidup adalah kombinasi dari niat ikhlas, kerja keras, doa, dan tawakal, itulah
rumus berjuang yang ingin disampaikan novel ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar