Rabu, 17 Oktober 2012

HUBUNGAN FILSAFAT DAN SASTRA

HUBUNGAN FILSAFAT DAN SASTRA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dewasa ini banyak permasalahan yang menyulitkan dalam penafsiran suatu karya sastra, kadang kala seseorang berpikir bahwasannya karya tersebut membahas filsafat begitupun sebaliknya, tanpa mengetahui prihal yang mendasari dari penciptaan karya filsafat ataupun karya sastra. 
Demi pancapaian suatu pemahaman terhadap permasalahan diatas, sebagai mahasiswa bahasa dan sastra kami terus menulusuri seluruh aspek yang berkenaan dengan filsafat sebagai sumber pemikiran dasar dan kesusastraan sebagai pruduksi aktif yang diharapkan.
Berangkat dari hal tersebut kami mencoba membuat suatu pembahasan yang menjelaskan teori dasar Filsafat, teori dasar Sastra dan hubungan antara keduanya. berdasarkan pendapat dan bukti aktual dari para ahli dibidangnya, dengan merumuskan permasalahan sebagaimana di bawah ini.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, dapat mengambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana hakikat filsafat?
2.    Bagaimana hakikat sastra?
3.    Bagaimana hubungan filsafat dan sastra?
C.    Tujuan Masalah
1.    Untuk mengetahui hakikat filsafat.
2.    Untuk mengetahui hakikat sastra.
3.    Untuk mengetahui hubungan filsafat dan sastra.


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Hakikat Filsafat
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yakni philos, philia, philien yang artinya senang, teman dan cinta. Sedangkan sophos, sophia dan sophien yang artinya kebenaran, keadilan, dan bijaksana  atau kebijaksanaan. Pengertian filsafat secara etimologis dapat disimpulkan adalah cinta kebenaran atau cinta kebijaksanaan/kearifan.
Kata filsafat juga berasal dari bahasa Arab yaitu falsafah. Sedangkan dari bahasa Inggris yaitu philosophy. Selain itu kata filsafat juga berasal dari bahasa Indonesia yaitu filsafat (kata sifat filsafati) atau filosofi (kata sifat filosofis).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998:277), filsafat dapat didefinisikan sebagai berikut:
1.         Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.
2.         Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan.
3.         Ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistimologi.
4.         Falsafah.
Selain definisi KBBI, berikut ini diturunkan lima definisi filsafat sebagaimana yang dihimpun oleh Titus, dkk., (1979). Kelima definisi ini menunjukan ragam pemahaman manusia dan pengunaan terhadap (kata) filsafat.
1.    Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis.
2.    Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi.
3.    Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.
4.    Filsafat adalah sebagian analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep.
5.    Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian dari manusia dan yang di carikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah sekumpulan sikap, pemikiran, dan kepercayaan terhadap problema-problema yang berlangsung dalam masyarakat .
B.       Hakikat Sastra
Sastra sangat berkait dengan istilah ‘filologi’. Filologi sebagai kajian budaya mencakup sastra, bahasa, seni, politik, agama, dan adat istiadat. Satra boleh juga disebut bagian dari filologi. Sastra sering dikatakan sebagai ‘tulisan yang indah’, juga dikatakan sebagai ‘pembentuk budi pekerti’. Perkataan ini banyak mengacu pada Horace, yakni dulce et utile yang memberikan penegasan bahwa sastra sebagai karya yang indah dan bermanfaat bagi pembaca. Masyarakat yang melakukan pembacaan terhadap karya sastra akan mendapatkan kesenangan dari tulisan yang indah dan mengharukan, juga mendapatkan pengetahuan-pengetahuan yang tidak pernah disadari keberadaannya di sekeliling.
Sastra memang hasil kreativitas pengarang yang mencermati realitas, namun untuk memahaminya dibutuhkan ilmu mengenai sastra itu sendiri. Sastra tidak hanya menampilkan rekaan untuk menghibur, melainkan ada sisi ‘tanda’ yang terwujud di dalamnya. Tanda itu terkait dengan gejala sosial yang secara sadar ataupun tidak sadar mewujud pada teks sastra. Satra sebagai hasil kreativitas merepresentasikan ‘gejala sosial’ yang dicermati oleh sastrawan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Hakikat karya sastra yang menampilkan sisi universal sekaligus khusus merupakan perkembangan dari konsep pemahaman terhadap sastra itu sendiri. Sastra yang terus mengalami perubahan menjadikan teori-teori yang pernah dituliskan pada masa dulu menuntut untuk terus diperbaharui. Hanya saja, teori-teori yang agung dan diungkapkan dengan kecermatan masih dipertahankan karena adanya keselarsan dengan zaman. Hakikat karya sastra yang terus mengalami perubahan perlu dicermati pada keterhubungan antarilmu sastra. Hubungan antarilmu tersebut merupakan pengetahuan untuk memasuki dunia sastra yang penuh dengan tanda. Untuk memahami hakikat karya sastra, perlu terlebih dahulu memahami cabang-cabang ilmu sastra dan hubungannya sebagai elemen yang saling mengisi dan mentransformasikan sisi-sisi sastra yang terus mengalami perubahan.
Cabang-cabang ilmu sastra itu diantaranya adalah sejarah sastra, kritik sastra, dan teori sastra. Sulit membicarakan satu dan melepaskan yang dua. Ketiganya merupakan satu jalinan. Jelas bahwa sulit memisahkan antara teori sastra dari kritik dan sejarah sastra, maupun sebaliknya. Teori sastra tak mungkin dapat disusun tanpa kritik dan sejarah sastra. Kriteria, kategori, skema (teori sasta) tak mungkin dibuat tanpa pijakan studi karya sastra (kritik dan sejarah sastra). Sebaliknya, tak mungkin ada kritik sastra dan sejarah sastra tanpa sistem pemikiran dan generalisasi (teori sastra). Teori dan praktik selalu mempengaruhi.
Sastra tidak dapat dilepaskan dari unsur pengarang., masyarakat, dan pembaca. Karya sastra ditulis oleh seorang pengarang. Karya sastra dapat pula merupakan potret kehidupan masyarakat. Karya sastra ditulis tentu untuk diapresiasi pembaca. Sebagai pribadi, pengarang adalah seorang warga masyarakat yang tentunya mempunyai pendapat tentang masalah-masalah politik dan sosial yang penting, serta mengikuti isu-isu zamannya (Wellek dan Austin, 1989: 114). Sebagai warga masyarakat, pengarang cenderung berusaha menyuarakan aspirasi masyarakat dalam karya-karyanya. Oleh karena itu, membicarakan karya sastra sesungguhnya tidak terlepas dari masyarakat. Seni dapat dikaitkan dengan biografi, psikologi, filsafat, maupun masyarakat. Karya seni dapat diteliti melalui biografi pengarang, psikologi yang dianut pengarang, filsafat yang mempengaruhi karya sastra, maupun masyarakat atau dunia tempat pengarang berada.
C.      Hubungan Filsafat dan Sastra
Hubungan sastra dan filsafat laksana dua sisi mata uang; permukaan yang satu tidak dapat dipisahkan dari permukaan yang lainnya, bersifat komplementer, saling melengkapi. Masalahnya, karya sastra membicarakan dunia manusia. Demikian juga filsafat, betapapun penekanannya pada usaha untuk mempertanyakan hakikat dan keberadaaan manusia, sumbernya tetap bermuara pada manusia sebagai objeknya.
Secara asasi, baik karya sastra maupun filsafat, sebenarnya merupakan refleksi pengarang atas keberadaan manusia. Hanya, jika karya sastra merupakan refleksi evaluatif, maka filsafat merupakan refleksi kritis. Apa yang diungkapkan filsafat adalah catatan kritis yang awal dan akhirnya ditandai dengan pertanyaan radikal yang menyangkut hakikat dan keberadaan manusia. Itulah, di antaranya, yang membedakan karya sastra dan filsafat.
Masalah hubungan sastra dan filsafat sesungguhnya bukanlah masalah baru. Sejak manusia mengenal cerita-cerita mitologis, sejak iu pula sesungguhnya hubungan sastra dengan filsafat  dalam pengertian yang lebih luas sulit dipisahkan. Seperti halnya cerita klasik semacam Mahabharata, Ramayana, karya sastra atau karya filsafat; karya filsafat yang disuguhkan dalam bentuk karya sastra dan  karya sastra yang berisi ajaran-ajaran filsafat.
Dalam khazanah sastra Indonesia, meski karya-karyanya belum dapat disejajar-kan dengan mitologi-mitologi tersebut, nama-nama Nuruddin Ar-Raniri, Syamsuddin As-Samatrani, dan Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang), dikenal sebagai tokoh sufi yang ajaran tasawufnya (filsafat) disampaikan lewat puisi-puisi atau cerita-cerita simbolik. Munculnya istilah sastra sufi beberapa waktu lalu, juga sebenarnya bersumber dan mengacu pada karya-karya tokoh tasawuf itu.
Jika kita menarik karya-karya mereka jauh ke belakang, maka kita juga akan menemukan begitu banyak ajaran tasawuf (filsafat islam) yang justru disampaikan dalam bentuk karya sastra. Sebut saja misalnya, karya Rabiah al-Adawiyah, penyair sufi wanita yang konon wafat tahun 752 (?), Al-Hallaj (828-921), Ibn Thufail (1106-1185) atau Sa’di Jalaluddin Rumi (1207-1270).
Tentulah kita masih dapat menyebut sejumlah karya sastra lainnya yang secara tematik memperlihatkan gagasan filsafat tertentu yang dianut atau yang sengaja disodorkan pengarangnya. Hal tersebut tidak hanya mempertegas, betapa sastra dan filsafat begitu erat hubungannya, tetapi juga tidak sedikit filsuf yang secara sadar menyam-paikan gagasan filsafatnya dengan mengemasnya ke dalam bentuk karya sastra.
Sungguhpun demikian, harus diakui pula, bahwa di antara karya-karya sastra yang sejenis itu, ada yang cenderung lebih berat ke filsafat daripada ke karya sastranya, atau sebaliknya, atau juga kedua-duanya. Dalam kesusastraan Indonesia modern, karya yang semacam ini kita temukan pada novel-novel Danarto (Godlob), Budi Darma (Rafilus) atau Kuntowijoyo (Khotbah di atas Bukit).
Dalam konteks itu, perlu diingatkan bahwa gagasan filsafat yang dibungkus ke dalam kemasan sastra, tetaplah mesti ditempatkan sebagai karya sastra. Artinya, bahwa karya itu tidak dapat begitu saja meninggalkan konvensi kesastraannya. Gagasan filsafat yang terkandung dalam karya itu seyogianya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari unsur-unsur kesastraan lainnya. Dengan demikian, gagasan filsafat itu akan lebur menjadi salah satu unsur yang justru ikut membangun nilai-nilai estetika karya bersangkutan.
Kecenderungan sastrawan yang terbawa oleh hasrat besarnya untuk berfilsafat dan mengabaikan nilai estetika kesastraan, akan tergelincir jatuh pada karya yang lebih dekat ke karya filsafat daripada ke karya sastra. Akibatnya, karya itu akan kehilangan daya tarik dan gregetnya sebagai karya sastra, karena ia lebih mementingkan gagasan filsafatnya daripada nilai estetiknya. Karya Sutan Takdir Alisjahbana, Grotta Azzura, misalnya, merupakan contoh betapa karya itu menjadi kurang menarik karena Alisjhbana lebih menekankan dialog-dialog panjang mengenai filsafat daripada kepaduan unsur-unsur novel itu sebagai kesatuan estetik. Dengan demikian karya itu boleh jadi lebih tepat ditempatkan sebagai karya filsafat daripada karya sastra.
Begitulah, betapapun karya sastra berbeda dengan filsafat, dalam semua karya sastra yang bermutu akan selalu terkandung nilai-nilai filsafat, entah menyangkut sikap dan pandangan hidup tokoh yang digambarkannya atau tema karya sastra itu sendiri. Semakin bermutu karya sastra itu, semakin mendalam pula kandungan filsafatnya. Oleh sebab itu, dalam karya sastra yang agung, nilai-nilai filsafat yang dikandungnya akan terasa lebih mendalam dan kaya. Sangat wajar jika kemudian orang mencoba mencari nilai-nilai filsafat pada karya sastra yang agung, dan bukan pada karya sastra picisan.

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Filsafat adalah sekumpulan sikap, pemikiran, dan kepercayaan terhadap problema-problema yang berlangsung dalam masyarakat.
  2. Sastra adalah upaya manusia untuk mengemukakan gagasannya melalui bahasa yang lahir dari pemikiran dan perasaan yang diungkapkan dalam bentuk tulisan.
  3. Hubungan sastra dan filsafat bersifat komplementer. Sastra dan filsafat bersumber pada manusia sebagai obyeknya.
B.       Saran
Semoga apa yang kami kerjakan bermanfaat bagi para pembaca dan dapat digunakan untuk pembelajaran selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Remaja
            Rosdakarya.
Sariban. 2009. Teori dan Penerapan Penelitian Sastra. Surabaya: Lentera
            Cendikia.
Sutardi. 2011. Apresiasi Sastra: Teori, aplikasi, dan pembelajarannya.
            Lamongan: Pustaka Ilalang.
Mahayana. Maman S. 2008. Hubungan Sastra dan Filsafat. (Online),
_______. _______.  Filsafat Ibnu Sina. eBook. Diakses 29 Desember 2011.


 Penulis: 
  • Wahyu Inda Liswana
  • Akhmad Muzkkin

  • Fithrotus Sya’diyah

3 komentar: