Rabu, 12 Desember 2012

ESAI PENDIDIKAN KARAKTER ALA PESANTREN DALAM NEGERI 5 MENARA

ESAI
PENDIDIKAN KARAKTER ALA PESANTREN DALAM NEGERI 5 MENARA

Karakter merupakan aspek penting dari kualitas sumber daya manusia (SDM) karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter adalah titian ilmu pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill). Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karakter berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak (1995:445).
Pendidikan karakter memang penting dalam perkembangan manusia Indonesia saat ini. Terlebih dalam era global yang setiap negara berusaha memberi karakter setiap warga negaranya yang menjadi identitas penting dalam pergaulan global. Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Kehadiran novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi ini sangat tepat seiring dikembangkannya pendidikan karakter di Indonesia. Novel yang berlatar belakang pendidikan pesantren ini menceritakan pengalaman penulisnya selama belajar di sebuah pondok pesantren (Pondok Madani) di Jawa Timur.
Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra pada dasarnya merupakan hasil imajinasi dan kreativitas pengarang yang bersumber dari pengalaman, baik pengalaman lahir maupun pengalaman batin. Pengalaman ini disusun secara kreatif, imajinatif, sistematis, dan estetis dengan menggunakan bahasa sebagai medianya sehingga mampu menyajikan jalinan cerita yang indah serta mampu memberikan wawasan yang merupakan hasil renungan tentang beraneka ragam pengalaman kehidupannya. Dalam bahasa yang lebih umum, pengalaman itu mungkin berdasarkan pengalaman objektif semata-mata, atau mungkin juga terpaksa harus direkayasa dan diperkaya dengan pengalaman imajinatif dan pengalaman intelektual. Melalui karyanya, seorang pengarang berusaha merefleksikan gejolak dalam jiwanya, baik berupa luapan emosi tentang keputusasaan, kegelisahan, protes diri, sebuah cita-cita, ataupun merekam suatu peristiwa.
Novel Negeri 5 Menara ini menceritakan Alif Fikri, seorang pemuda Minangkabau lulusan Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang dengan setengah hati merantau ke Jawa untuk menimba ilmu di salah satu Pondok Pesantren terkenal di Ponorogo, Jawa Timur. Alif, seorang pemuda yang memiliki cita-cita suatu saat nanti bisa seperti Habibie, sesungguhnya Alif ingin melanjutkan sekolah ke SMA. Sementara ibunya menginginkan Alif melanjutkan ke jalur pendidikan agama Islam, Madrasah Aliyah (MA) dan menjadi seorang ahli agama suatu saat nanti, seperti Buya Hamka. Kondisi tersebut membuat Alif dilanda kekalutan, antara berbakti pada orang tua dengan mengikuti keinginan ibunya, yaitu melanjutkan bersekolah ke Madrasah Aliyah ataukah melanjutkan mimpinya untuk sekolah di SMA. Hingga akhirnya, dengan referensi dari salah seorang kerabat, Alif dengan berat hati memenuhi permintaan orangtuanya untuk menempuh jalur pendidikan agama Islam tetapi dengan suatu syarat. Alif tidak mau masuk Madrasah Aliyah (MA) di Minang; tetapi ia memilih mendalami ilmu agama ke Pondok Madani (PM), sebuah pesantren di Jawa Timur.
Maka berangkatlah Alif yang ketika itu masih berusia sangat muda, merantau ke Jawa. Dan perjalanan hidup Alif sebagai salah satu siswa Pondok Madani pun dimulai. Peraturan pondok yang sangat ketat, jadwal kegiatan yang padat, kewajiban memakai bahasa Inggris dan Arab dalam setiap kegiatan komunikasi, serta hukuman yang siap menanti sekecil apapun kesalahan yang diperbuat, membuat Alif tidak tahan pada saat awal-awal bersekolah di Pondok Madani. Gelombang emosi Alif yang naik turun menghiasi hari-harinya pada saat menimba ilmu di Pondok Madani. Ragu dan menyesal sempat terbersit di benak Alif, apalagi ketika Alif menerima surat dari sahabat dekat ketika sekolah dulu, yaitu Randai, yang kini seolah sedang berjaya di sebuah SMA Favorit di Bukit Tinggi, sebuah SMA impian Alif.
Seiring berjalannya waktu, lambat laun Alif dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan PM. Alif juga menemukan sahabat-sahabat senasib yang kemudian dinamai Sahibul Manara, sahabat yang sering berkumpul di bawah menara masjid Pondok Madani sambil menunggu adzan Maghrib. Mereka adalah Said dari Surabaya, Raja dari Medan, Dulmajid dari Madura, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa. Mereka saling menasehati, saling berbagi mimpi, dan saling membantu satu sama lain. Kehidupan PM yang ketat dalam menerapkan disiplin membuat mereka harus saling mendukung agar betah menyelesaikan 4 tahun sekolah. Banyak hal yang Alif dan kawan-kawannya dapatkan dari PM, tidak hanya pelajaran biasa, tetapi juga pelajaran tentang kehidupan, yang ia bawa sebagai bekal di kehidupan di masa depan. Tekanan hidup tidak membuat Alif dan para santri lainnya menjadi patah dan mengkerut, tetapi justru membuat mereka semakin kuat mental dan tahan banting. Hasilnya, mereka menjadi pribadi-pribadi muda yang tegar, optimistis, percaya diri, juga fasih berbahasa Arab dan Inggris.
Sebagai karya kreatif yang bersifat imajinatif, karya sastra tidak hanya diharapkan dapat memberi hiburan, tetapi juga diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembaca melalui nilai-nilai yang diusungnya. Karya sastra yang baik diharapkan memunculkan nilai-nilai positif tentang pengalaman kehidupan sehingga dapat menggugah perasaan, membuka pikiran, dan hati nurani pembaca.
Novel Negeri 5 Menara ini menyuguhkan suatu cerita yang membuka pandangan pembaca tentang seluk-beluk pendidikan pesantren modern yang selama ini hanya menjadi cerita dari mulut ke mulut. Pahit dan getir, riang dan gamang kaum santri dengan humor khas pesantren diceritakan dengan pengisahan yang menakjubkan. Pendidikan pesantren modern yang digambarkan dalam novel ini sungguh tidak main-main. Pembentukan karakter benar-benar ditanamkan secara kuat, nyata, dan konsisten sehingga mampu melahirkan generasi yang benar-benar tangguh.
Ikhlas merupakan wujud kepasrahan dan kecintaan manusia kepada Tuhannya. Dalam menjalani hidup tak ada kepentingan apa-apa selain ibadah. Semua untuk kebaikan semesta, seperti yang diamanatkan Tuhan. Doktrin ini ternyata benar-benar dapat merasuk ke dalam sum-sum para santri, sehingga semangat untuk beribadah dalam mencari ilmu tak pernah luntur, bahkan menggebu-gebu.
Sementara itu, untuk karakter kedisiplinan, merupakan hal yang tak dapat ditawar di PM. Aturan-aturan yang wajib dipatuhi para santri diperkenalkan sejak hari pertama mereka masuk PM. Termasuk aturan mengenai kewajiban pemakaian bahasa Arab dan bahasa Inggris untuk segala komunikasi 24 jam di PM. Hukuman tidak pandang bulu. Siapa yang melanggar aturan harus dihukum, meskipun santri baru. Sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut.
” …, ingat juga bahwa aturan di sini punya konsekuensi hukum yang berlaku tanpa pandang bulu. Kalau tidak bisa mengikuti aturan, mungkin kalian tidak cocok di sini. Malam ini akan dibacakan qanun, aturan komando. Simak baik-baik, tidak ada yang tertulis, karena itu harus kalian tulis dalam ingatan. Setelah mendengar qanun, setiap orang tidak punya alasan tidak tahu bahwa ini aturan” (hal. 51)
Kedisiplinan memang merupakan satu pilar karakter yang harus dimiliki seseorang untuk menjadi seorang pribadi yang matang dan sukses. Kesuksesan akan sulit diraih tanpa kedisiplinan yang tinggi. Inilah yang membuat PM begitu ketat menerapkan disiplin dalam mendidik para santrinya. Hukuman yang keras akan membuat santri jera dan lebih berhati-hati. Hukuman yang tidak pandang bulu juga mengajarkan para santri PM tentang keadilan.
Demikian pula untuk kemandirian dan tanggung jawab. Pendidikan dengan model asrama (pondok) yang digambarkan dalam novel Negeri 5 Menara ini akan melatih kemandirian dan tanggung jawab. Para santri harus mampu mengurus dirinya sendiri juga barang-barang miliknya. Seperti mencuci baju, membersihkan kamar, dan sebagainya. Tugas sebagai jasus (mata-mata), petugas bulis lail (ronda malam) yang diatur secara bergiliran juga menuntut dan melatih karakter tanggung jawab bagi para santri.
Pengaturan penghuni kamar yang selalu dirolling setiap tiga bulan sekali juga mampu menumbuhkan karakter kasih sayang, cinta damai, dan kerjasama. Di samping itu, santri PM yang berasal dari berbagai suku, daerah, bahkan negara juga diatur sedemikian rupa agar dapat membaur satu sama lain. Pengaturan semacam ini tentu akan memperkuat rasa persatuan dan toleransi antar sesama santri.
Selain Ilmu agama yang dipelajari di PM, siswa juga diarahkan minat dan bakatnya pada berbagai hal, seperti musik, seni lukis, fotografi, jurnalistik, olahraga, pencak silat, kelompok baca dan sebagainya. Pentas seni bukan menjadi barang aneh bagi siswa-siswa Pondok Madani. Fotografi dan jurnalistik berpadu apik membangun redaksi Majalah Syams. Di sinilah karakter kreatif para santri dibentuk dan dikembangkan.
Tugas-tugas lain, seperti berpidato di depan umum dengan menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Arab secara bergantian mampu menumbuhkan rasa percaya diri bagi para santri di PM. Demikian pula tugas menjadi imam sholat dan ketua kegiatan, juga mampu membentuk dan menumbuhkan jiwa kepemimpinan. Para santri dicetak menjadi pribadi yang harus siap memimpin dan dipimpin.
Dari berbagai karakter yang telah diuraikan di atas, karakter kerja keras dan pantang menyerahlah yang sesungguhnya menjadi benang merah keseluruhan cerita dalam novel Negeri 5 Menara ini. Aroma kerja keras dan pantang menyerah bahkan telah dikenalkan dalam pembuka novel ini, yaitu kutipan kata mutiara Imam Syafii sebagai berikut.
”Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negeri mu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan. Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang. Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa. Anak panah jika tak tinggalkan busur tak akan kena sasaran…”
Di PM karakter kerja keras dan pantang menyerah juga didoktrinkan kepada para santri sejak awal masuk. Yaitu melalui mantra sakti berbahasa Arab, man jadda wajada, Siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil. Cara menanamkannya dapat dikatakan cukup unik, yaitu dengan cara diteriakkan secara lantang dan berulang-ulang oleh para santri di masing-masing kelas sehingga para santri merasa tersengat ribuan tawon dan mantra tersebut benar-benar terekam dalam ingatan dan terpatri dalam hati. (hal. 40-41).
Pemimpin PM juga menegaskan bahwa belajar di PM tidak akan santai-santai. Semua harus mau bekerja keras agar dapat berhasil. Untuk bisa segera lancar berbahasa Inggris dan Arab, para santri harus mau rajin belajar, rajin membuka kamus. Toleransi untuk menggunakan bahasa Indonesia hanya pada tiga bulan pertama masuk. Setelah itu, para santri yang masih menggunakan bahasa Indonesia berarti melanggar aturan dan akan mendapatkan hukuman. Kemampuan berbahasa Inggris dan Arab tidak mungkin akan terwujud tanpa kerja keras para santri sendiri.
Sebagaimana dikisahkan dalam novel ini, kerja keras dan pantang menyerah benar-benar menjadi ruh pendidikan, sehingga mampu membentuk pribadi-pribadi yang tangguh dan tidak mudah mengeluh. Berkat kerja keras dan pantang menyerah, Alif dan kawan-kawannya pun akhirnya mampu meraih mimpinya masing-masing yang pada awalnya dirasa sangat mustahil. Mereka berhasil mengunjungi menara-menara impiannya. Keajaiban-keajaiban dapat diciptakan dengan usaha-usaha yang tak kunjung menyerah.
Karakter kerja keras dan pantang menyerah tentu menjadi kunci kesuksesan yang telah diyakini banyak orang. Namun, dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat kita saat ini, karakter tampaknya semakin terkikis seiring perkembangan zaman. Masyarakat kita cenderung lebih menyukai segala yang bersifat instan. Mereka menginginkan hidup enak, hasil yang banyak, dengan usaha yang sedikit. Bila mendapat kesulitan sedikit, sudah mengeluh sebelum akhirnya menyerah. Karakter kerja keras dan pantang menyerah sepertinya tidak ada lagi dalam diri mereka. Menipisnya karakter kerja keras ini pula yang memicu munculnya budaya jalan pintas dalam berbagai segi kehidupan. Budaya jalan pintas inilah yang akhirnya memunculkan budaya baru, seperti kecurangan dalam ujian nasional, juga kasus-kasus korupsi.
Melalui novel ini, pengarang berhasil menyuguhkan cara pandang baru terhadap pondok pesantren yang selama ini dianggap sebagai tempat ’buangan’ anak-anak yang bermasalah. Image pondok sebagai tempat pendidikan kuno, berhasil pula ditepiskan dengan menyuguhkan gambaran pesantren sebagai tempat pendidikan yang mengarahkan santrinya untuk menjadi insan unggul baik dari sisi pendidikan agama maupun pendidikan non-agama. Model pendidikan karakter yang disajikan dalam novel ini juga memberikan referensi dan menawarkan alternatif kepada masyarakat, khususnya dunia pendidikan, yang mungkin dapat diadopsi untuk diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan yang lain.
Membaca novel Negeri 5 Menara ini, pembaca seakan-akan mendapat motivasi tentang pentingnya kerja keras. Bahwa hidup adalah kombinasi dari niat ikhlas, kerja keras, doa, dan tawakal, itulah rumus berjuang yang ingin disampaikan novel ini.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar